Jadi kita betul-betul jujur kepada Allah bahwa kita ini hidup hanya untuk Allah. Karena kita sudah punya slogan, sudah kita betul betul meyakini dan selalu kita ucapkan,
إِنَّ صَلاتِي وَنُسُكِي وَمَحْيَايَ وَمَمَاتِي لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ
“Sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidup dan matiku hanya untuk Allah Subhanahu wa Ta’ala.”
Subhanallah. Ini kalau orang bisa seperti ini, hidup matinya hanya untuk Allah, hatinya kosong dari semuanya kecuali untuk Allah Subhanahu wa Ta’ala, luar biasa. Karena Allah berfirman:
وَمَآ اُمِرُوْٓا اِلَّا لِيَعْبُدُوا اللّٰهَ مُخْلِصِيْنَ لَهُ الدِّيْنَ
Artinya: “Padahal mereka hanya diperintah menyembah Allah dengan ikhlas menaati-Nya semata-mata karena (menjalankan) agama.” (QS. Al-Bayyinah: 5)
Oleh karena itu para ulama menyebutkan bahwa ikhlas itu lebih berat daripada memindahkan gunung. Misalnya kita memindahkan Gunung Merapi sendirian dari Jawa tengah ke Surabaya. Itu lebih ringan daripada kita melaksanakan ikhlas atau menjalankan ikhlas untuk Allah Subhanahu wa Ta’ala, saking beratnya ikhlas ini bagi setiap hamba. Jadi tidak mudah. Karena secara tabiat, naluriah, manusia itu senang untuk di puji, senang untuk didengarkan orang, senang untuk dilihat orang. Secara umum begitu.
Maka dari itu para ulama ada yang mengatakan, “Ya Allah saya baru tahu kalau saya saolat selama 40 tahun di masjid, berjamaah, selalu di depan ini…”
Beliau ulama besar, ulama Salafus Saleh, 40 tahun tidak pernah ketinggalan jamaah dan ada di belakang Imam. Suatu ketika dia ketinggalan jamaah. Ternyata di dalam hatinya dia merasa malu karena jamaahnya ketinggalan. Malu kepada manusia karena biasanya 40 tahun tidak pernah ketinggalan berada di belakang Imam, di shaf pertama. Ini sekali waktu dia ketinggalan, lalu malu dilihat orang. Akhirnya dia mengatakan “Ya Allah berarti saya baru tahu selama 40 tahun saya ini tidak ikhlas.”
Bayangkan! itulah beratnya ikhlas.
Tonton video lengkapnya di bawah ini: